اَÙ‡ْلاًÙˆَسَÙ‡ْلاً

Sunday 5 January 2014

ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME



ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Orientalisme
Dosen pengampu : Moh. Maimun M.S.I, MA
Oleh: Mulya 14113450009
Adadin/Tafsir Hadis B/4
A.    Abstrak
1.      Orientalisme
Mulanya Orientalisme sekadar sebutan bagi kinerja para orientalis: pengulik hal-hal terkait Asia dan Afrika yang secara sederhana disebut sebagai Timur. Di abad ke-18 istilah ini digunakan kalangan penjajah Inggris yang mau tidak mau mesti mengkaji Islam dan Hindu untuk mengetahui aturan sosial masyarakat India yang dijajah. Orientalisme selanjutnya berkembang di periode dekolonisasi (1939-1945) sebagai penanda bagi institusi kolonial-imperial yang berkepentingan tidak sekadar mengetahui melainkan menguasai Timur.
2.      Oksidentalisme
Oksidentalisme merupakan antitesis Orientalisme. Para oksidentalis mengkritik orientalisme sekaligus mengkaji ulang Barat. Ibarat permainan bola, Oksidentalisme melakukan serangan balik terhadap Orientalisme.
B.     Pembahasan
1.      Dari Orientalisme ke Oksidentalisme
Oksidentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Apabila Orientalisme melihat ego (timur) melalui the other maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego dan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas (murakah al-naqish) pada ego dan kompleksitas superioritas (murakah al-uzhma) pada phak the other. Orientalisme klasik  lahir dan mencapai kematangannya dalam kekuatannya ekspansi imprealime Eropa yang mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang rakyat yang dijajah. Sejak itu, Barat mengambil peran sebagai ego yang menjadi subyek dan menggap non Barat sebagai the other yang mejadi obyek. Jadi, Orientalisme adalah pandangan ego Eropa terhadap the other non Eropa, subyek pengkaji muncullah kompleksitas superioritas dalam ego Eropa, sedangkan akibat posisinya sebagai obyek yang dikaji mengakibatkan munculnya kompleksitas inferioritas dalam diri the other non Eropa.[1]
Sedang dalam Oksidentalisme pertimbangan peran telah berubah. Ego Eropa yang kemarin berperan sebagai pengkaji, kini menjadi obyek yang dikaji sedang ­the other non Eropa yang kemarin menjadi obyek yang dikaji, kini berperan sebagai subyek pengkaji. Dengan sendirinya dialektika ego dan the other berubah dari dialektika Barat dan non Barat menjadi dialektika non Barat dan Barat tugas Oksidentalisme adalah mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other, menumbangkan superioritas the other Barat dengan menjadikannya sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan inferioritas kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Dengan kata lain menghilangkan rasa tak percaya diri di hadapan Barat dalam soal bahasa, kebudayaan, ilmu pengetahuan, madzhab, teori dan pendapat. Sebab, hal di atas dapat menciptakan rasa rendah diri yang terkadang secara ilusif berubah menjadi rasa super.[2]
Perbedaan antara orentalisme klasik dengan Oksidentalisme sekarang adalah perbedaan momen sejarah peradaban Eropa yang menjadi tempat lahirnya Orientalisme klasik dan momen sejarah berikutnya yang merupakan tempat lahirnya Oksidentalisme sekarang. Hal di atas digambarkan sebagai berikut:
a.    Orientalisme lama muncul di tengan ekspansi imprealisme Eropa. Bangsa Eropa pada masa itu sedang mengalami masa kemenangannya setelah berhasil menaklukan Grenade (dulu ibu kota Umawiyah di Andalusia) dan penemuan geografis. Sementara oksidentalis lahir pada masa kemunduran pasca pergerakan Arab. Bangsa Arab pada masa itu sedang mengalami kekalahan pada masa defensif. Karena Oksidentalisme lahir sebagai pembelaan diri, dan sebaik-baik cara bertahan adalah menyerang, membebaskan diri dari rasa takut pada orang lain, dan mengubah perimbangan kekuatan 180 derajat, serta “membalik meja ke hadapan lawan”
b.   Orientalisme muncul dengan membawa revolusi paradigma riset ilmiah atau aliran politik yang menjadi kecenderungan utama di abad ke-19 terutama positivisme, historisme, saintisme, rasialisme dan nasionalisme. Sementara Oksidentalisme lahir di tengah paradigma penelitian yang sama sekali berbeda dengan kondisi di mana Oksidentalisme lahir seperti metode linguistik, metode analisis eksperimentasi subsisten dan ideologi pembebasan tanah air.
c.    Orientalisme sekarang sudah berubah bentuknya dan dilanjutkan oleh ilmu-ilmu kmanusiaan terutama antropologi peradaban dan sosiologi kebudayaan. Sementara Oksidentalisme masih terlalu dini dan belum mengembangkan bentuk apapun. Jika Orientalisme dimulai pada abad 17 dan Oksidentalisme pada akhir abad ke 20, berarti Orientalisme empat abad lebih tua dibandingkan dengan Oksidentalisme. Dangan jangka waktu empat abad sam dengan masa kebangkitan Eropa modern.
d.   Orientalisme klasik tidak mengambil posisi nertral tetapi banyak didominasi paradigma yang merefleksikan struktur kesadaran Eropa yang terbentuk oleh peradaban modernnya. Paradigma tersebut antara lain historis, analitis, proyektif dan pengaruh dan keterpengaruhan. Sementara kesadaran peneliti Oksidentalisme sekarang lebih dekat kepada posisi netral. Sebab, Oksidentalisme tidak memburu kekuasaan dan hak kontrol. Ia hanya menghendaki pembebasan diri dari pengaruh pihak lain agar ego dapat disejajarkan dengan the other dalam tingkat kedermawan dan kesetaraan.[3]
Jika Orientalime adalah kajian tentang peradaban Islam oleh peneliti dari peradaban lain yang memiliki struktur emosi yang berbeda dengan struktur peradaban yang dikajinya., maka Oksidentalisme adalah ilmu yang berseberangan bahkan berlawanan dengannya. Agenda kedua, sikap kita terhadap tradisi Barat, merupakan pernyataan mengenai kesadaran kita tentang Oksiedentalisme dan materi pokoknya. Dengan demikian bahaya yang ditimbulkan oleh anggapan bahwa peradaban Eropa merupakan sumber segala ilmu pengetahuan, menjadi tempat bergantung peradaban lain, menjadi tempat bersandar bagi eksistensi madzhab dan teori, dapat disingkirkan. Sikap semacam ini telah mengakibatkan penyelewengan peradaban-peradaban non Eropa, kebergeseran dari posisi realistisnya, ketercemburuan dari akarnya, keterikatan dengan peradaban Eropa, dan masuk ke dalam atmosfernya dengan anggapan bahwa peradaban Eropa adalah produk terakhirnya dari eksperimentasi manusia.[4]
 Tugas ilmu baru ini adalah mengembalikan emosi non Eropa ke tempat asalnya, menghilangkan keterasingannya, mengaitkan kembali dengan akar lamanya menempatkannya ke posisi realistisnya untuk kemudian menganalisanya secara langsung dan mengambil satu sikap terhadap peradaban Eropa yang dianggap semua orang sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Jika orientalisme secara sengaja mengambil posisi keberpihakan sampai pada niat buruk yang terpendam, maka Oksidentalisme mengutarakan kemampuan ego sebagai emosi yang netral dalam memandang the other, mengkajinya dan mengubahnya menjadi obyek. Ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif dan netral dibandingkan dengan ego orientalisme.  Bahkan kadang-kadang tampak bahwa ego Barat dan syarat objektivitas dan netralitas yang digembor-gemborkannya sejak abad lalu hanya dimanfaatkan untuk menyembunyikan egosentrisme dan keberpihakan Barat seperti terlihat dalam orientalisme.[5]
Hal yang sangat berguna bagi tradisi Barat bahwa peneliti non Barat melakukan kajian terhadapnya. Hal ini dapat memberikan sudut pandang baru bagi tradisi Barat. Sebab, pengkaji Eropa begitu kenyang dengan tradisinya, dan disamping itu juga memiliki struktur emosi yang sama dengan struktur tradisi Barat. Akibatnya sulit bagi pengkaji Eropa untuk melihat obyek kajiannya yang berupa tradisi Barat, karena tidak adanya jarak antara pengkaji dengan obyek kajiannya. Lain halnya pengkaji bukan orang Eropa. Ia memiliki struktur emosi yang berbeda dengan struktur tradisi Eropa. Sehingga tercipta jarak cukup lebar yang memungkinkan pengkaji melihat obyek kajiannya.
Memang benar, pengkajian tradisi Barat oleh non Barat menyimpan potensi proyektif dari pengkaji terhadap obyek kajiannya. Malah tidak menutup kemungkinan pengkaji lebih banyak melihat apa yang ada di dalam dirinya daripada aya yang ada di dalam kenyataan. Benar juga bahwa pengkaji bias saja tergelincir ke dalam premis-premis retorik atau fanatisme dan menyerang peradaban lain yang menjadi obyek kajiannya hal itu dapat terjadi terutama jika pengkaji pernah mengalami penderitaan akibat penjajahan langsung atau penjajahan cultural yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa. Dalam keadaan seperti ini pengkajian terhadap tradisi Barat akan dimanfaatkan untuk melakukan alas dendam. Tetapi kesasadaran dan orisinalitas pengkaji akan dapat menjaganya dari ketergelinciran ke dalam bahaya-bahaya di atas.
Justru yang menjadi bahaya besar adalah repetisi pengkaji Barat terhadap banyak hal dan akuransi penelitian mereka sampai pada paling kecil, tanpa mampu menemukan obyek satu kesatuan. Hal itu terjadi karena pengkaji Eropa setelah lama terbiasa melakukan kajian dan menemukan kelemahan perspektif universalisme dan meyakini partikularitas, serta ingin membentuk sebuah kesatuan dimulai dari bagian-bagianya yang dapat dicapai dengan cara tertentu dan dengan metodologi empiris.[6]
Oksidentalisme mempunyai tugas membebaskan revolusi modern dari kesalahan-kesalahan menyempurnakan kemerdekaan serta beralih dari kemerdekaan militer ke kemerdekaan ekonomi, politik, kebudayaan dan yang paling utama kemerdekaan peradaban. Selama Barat masih bercokol dalam hati kita sebagai ssumber pengetahuan dan kerangka rujukan yang diandalkan dalam melakukan evaluasi dan pemahaman, maka kita akan tetap menjadi golongan bawah yang membutuhkan pelindung.
Bangsa non Eropa mampu menyuguhkan eksperimentasi  langka dalam sejarah manusia, yaitu eksprerimentasi pembebasan tanah air dari penjajahan dan sekaligus mengubah perimbangan kekuatan dunia. Bangsa-bangsa yang baru merdeka ini muncul sebagai pusat kekuatan baru yang memelihara dunia dari buntut peperangan, dan menyerukan dibangunnya kemanusiaan baru dan prinsip kerja sama internasional yang memberikan keadilan kepada bangsa non Eropa.
Hasil lain eksperimentasinya adalah mengakhiri kontrol Eropa terhadap bangsa non Eropa dan memulai babak sejarah baru bagi umat manusia. Oksidentalisme telah memulai semua itu dan meningkatkan kualitasnya dari sekedar keinginan dan niat baik mnjadi sebuah ilmu pengetahuan yang akurat dan tingkat retorika politik ke tingkat retorika ilmiah. Tugas ini membutuhkan beberapa generasi. Saat ini kita masih mengalami pada dua masa, yaitu generasi kebangkitan Arab yang mengalami transisi dari era lama ke era baru. Kita masih berada pada kerangka filsafat sejarah yang merefleksikan gerakan kesadaran yang terpenjarakan. Kita masih membutuhkan beberapa generasi lagi untuk menjadikan filsafat sejrah sebagai sosiologi yang akurat.[7]


BACA JUGA : MOTi EXPONENT

Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran




[1] Hassan Hanafi, Oksidentalisme Sikap Kita Terhadap Barat , (Jakarta Selatan: Paramadina, 2000), cet pertama, hal.26.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hal. 27-28
[4] Ibid., hal. 28.
[5] Ibid., hal. 29.
[6] Ibid., hal. 30.
[7] Ibid., hal. 32-33

0 comments: