اَهْلاًوَسَهْلاً

Thursday 9 January 2014

Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran Karya Al-Qurtubi




BAB II
Pembahasan
Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran Karya Al-Qurtubi

A. Biografi Singkat al-Qurtubi
     Penulis tafsir al-Qurtubi bernama Abu ‘Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakr Ibn farh al-Anshari al-Khazraji Syamsy al-Din al-Qurtubi al-Maliki. Penulis belum menemukan referensi mengenai tahun kelahirannya, kebanyakan dari para penulis biografis hanya menyebutkan tahun kematiannya yaitu 671 H di kota Maniyya Ibn Hisab Andalusia. Ia dianggap sebagai salah seorang tokoh yang bermazhab Maliki.
     Aktifitasnya dalam mencari ilmu ia jalani dengan serius di bawah bimbingan ulama yang ternama pada saat itu, diantaranya adalah al-Syaikh Abu al-Abbas Ibn ‘Umar al-Qurtubi dan Abu Ali al-Hasan Ibn Muhammad al-Bakri. Beberapa karya penting yang dihasilkan oleh al-Qurtubi adalah al-Jami’ li Ahkam al-Quran, al-Asna fi Syarh Asma Allah al-husna, Kitab al-Tazkirah bi Umar al-Akhirah, Syarh al-Taqassi,Kitab al-Tizkar fi Afdal al-Azkar, Qamh al-Haris bi al-Zuhd wa al-Qana’ah dan Arjuzah Jumi’a Fiha Asma al-Nabi.
B. Latar Belakang penulisan kitab
      Berangkat dari pencarian ilmu dari para Ulama' (seperti Abu al-Abbas bin Umar al-Qurthubi Abu al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad al-Bakhri), kemudian Imam al-Qurthubi diasumsikan berhasrat besar untuk menyusun kitab Tafsir yang jiga bernuansa fiqh dengan menampilkan pendapat imam-imam madzhab fiqh dan juga menampilkan hadis yang sesuai dengan masalah yang dibahas. Selain itu kitab tafsir yang telah ada sedikit sekali yang bernuansa fiqh. Karena itulah Imam al-Qurthubi menyusun kitabnya, dan ini akan mempermudah masyarakat, karena disamping menemukan tafsir beliau juga akan mendapatkan banyak pandangan imam madzhab fiqh, hadis-hadis Rasulullah saw maupun pandangan para Ulama mengenai masalah itu.





C. Kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an

1. Pengenalan Umum Kitab Tafsir Qurtubi

       Kitab tafsir ini sering disebut dengan tafsir al-Qurtubi, hal ini dapat dipahami karena tafsir ini adalah karya seorang yang mempunyai nisbah nama al-Qurtubi atau bisa juga karena dalam halaman sampul kitabnya sendiri tertulis judul, tafsir al-Qurtubi al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Jadi, tidak sepenuhnya salah apabila seseorang menyebut tafsir ini dengan sebutan tafsir al-Qurtubi bila yang dimaksud adalah tafsir karya al-Qurtubi tersebut. Judul lengkap tafsir ini adalah al-Jami’ li Ahkam al-Quran wa al Mubayyin lima Tadammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqan yang berarti kitab ini berisi himpunan hukum-hukum al-Quran dan penjelasan terhadap isi kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat al-Quran. Dalam muqaddimahnya penamaan kitab ini didahului dengan kalimat Sammaitu….(aku namakan).[1] Dengan demikian dapat dipahami bahwa judul tafsir ini adalah asli dari pengarangnya sendiri.

2. Sistematika
      Dalam penulisan kitab tafsir dikenal adanya kitab tiga sistematika:
Pertama, sitematika Mushafi yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dengan dimulai dari al-Fatihah, al-Baqarah dan seterusnya sampai surat al-Nas. Kedua, sitematika Nuzul yaitu dalam menafsirkan al-Quran berdasarkan kronologis turunnya surat-surat al-Quran, contoh mufasir yang memakai sistematika ini adalah Muhammad ‘Izzah Darwazah dengn tafsirnya yang berjudul al-Tafsir al-Hadits. Ketiga, sistematika maudlu’I yaitu menfsirkan al-Quran berdasarkan topik-topik tertentu dengan topic tertentu kemudin ditafsirkan.
     Al-Qurtubi dalam menulis kitab tafsirnya memulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas, dengan demikian ia memakai sistematika mushafi, yaitu dalam menafsirkan al-Quran sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.[2]

3. Manhaj (metode)
     Metode yang dipergunakan oleh para mufasir, menurut al-Farmawi, dapat diklasifikasikan menjadi empat: Pertama, Metode Tahlili, dimana dengan menggunakan metode ini mufasir-mufasir berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat-ayat al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertiann yang dituju. Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan pengertian secara luas dari ayat-ayat al-Quran.
     Kedua, Metode Ijmali, yaitu ayat-ayat al-Quran dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis besarnya saja, contoh yang sangat terkenal adalah Tafsir Jalalain. Ketiga, Metode Muqaran, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Quran berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh Mufasir sebelumnya dengan cara membandingkannya. Keempat, Metode Maudlu’I yaitu di mana seorang mufasir mengumpulkan ayat-ayat di bawah suatu topik tertentu kemudian ditafsirkan.
      Metode yang dipakai al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya adalah metode tahlili, karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Sebagai contoh dari pernyataan ini adalah ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah di mana ia membaginya menjadi empat bab yaitu; bab Keutamaan dan nama surat al-Fatihah, bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab Ta’min, dan bab tentang Qiraat dan I’rab. Masing-masing dari bab tersebut memuat beberapa masalah.[3]

4. Corak Penafsiran
     Al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir, yaitu al-Ma’sur, al-Ra’yu, sufi, Fiqhi, Falsafi, Ilmi dan Adabi ijtima’i. Para pengkaji tafsir memasukkan tafsir karya al-Qurtubi kedalam tafsir yang bercorak Fiqhi, sehingga sering disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.
Corak tafsir Al-Qurtubi lebih menonjol kepemikiran fiqihnya, untuk mengawalitafsinya al-Qurtubi sengaja mencari kepada pemahaman lughowi. Dari makna lughowi kemudian dia menuju makna teknis (syar’I, bagaimana pengamalannya oleh parana bidan para sohabat beliau. Pola semacam ini jelas cara-cara yang lazim di terapkan oleh para ahli fiqih guna menemukan istinbat hukum yang legitimate. Dan dapat di terima oleh semua pihak, kalau tidak secara aklamasi (100%), paling tidak keputusan hukum yang di hasilkannya diterima oleh mayoritas ummat, karena argument yang di jadikan alasan cukup rasional dan di dukung oleh pemahaman lughowi yang jelas dan valid.
Menonjolnya corak fiqih dalam tafsir al-Qurtub itu bukanlah suatu yang aneh karena tafsirnya memang dari awal berjudul al- Jami’ li Ahkam al-Qur’an (menghimpun hukum fiqih dari ayat-ayat Al-Qur’an).Namun konsep-konsep fiqih yang di tonjolkannya terkesan netral, tidak fanatic terhadap madzhab Maliki yang di anutnya[4]. Lebih-lebih lagi kepada madzhab-madzhab lain. Tapi dia tampak selalu merujuk kepada pemahaman dan pengamalan Nabi dan shohabat terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan kasus yang sedang diahadapi.Karnaitulah, ketika dia menafsirkan, dia juga mengaitkan pemahamannya dengan pemahaman yang lain yang berbicara seputar kasus dan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai latar belakang turunnya ayat itu.
Berdasarkan kondisi yang demikian, kita dapat berkata bahwa penafsiran al-Qurtubi cukup objektiv dan di dukung oleh argument yang kuat serta fakta sejarah yang valid. Tampaknya di sinilah terletak kekuatan hujjah (argument) tafsir al-Qurtubi ini terutama dalam bidang fiqih.
Jika di amati sekali lagi, penafsiran yang di kemukakan al-Qurtubi dalam kitabnya itu, maka tampak dengan jelas bentuk tafsir yang di suguhkannya berupa pemikiran (al-Ra’y) yang terfokus pada corak fiqih, dengan menggunaakan metodeanalitis (tahili). Dengan begitu, agaknya tidak salah bila di sebut kitab tafsirnya itu sebagai (fiqih oriental)[5].
     Sebagai contoh dapat dilihat ketika menafsirkan surat al-Fatihah. al-Qurtubi mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh, terutama yang berkaitan dengan kedudukan basmalah ketika dibaca dalam salat, juga persoalan fatihah makmum ketika shalah Jahr. Terhadap ayat yang sama-sama dari kelompok Mufasir ahkam hanya membahasnya secara sepintas, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr al-Jassas. Ia tidak membahas surat ini secara khusus, tetapi hanya menyinggung dalam sebuah bab yang diberi judul Bab Qiraah al-Fatihah fi al-salah.
     Contoh lain dimana al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang lebar mengenai persoalana-persoalan fiqh dapat diketemukakan ketika ia membahas ayat Qs. Al-Baqarah (2): 43:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya:
dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku”
     Ia membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantara pembahasan yang menarik adalah masalah ke-16. ia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi Imam salat. Di antara tokoh yang mengatakan boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah ini, al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, dengan pernyataannya:[6]

إمامة الصغير جائزة إذا كان قارئا
(anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik)
Dalam kasus lain ketika ia menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 187

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ....
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;...”
     Ia membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahsan ke-12, ia mendiskusikan persoalan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban berkewajiban mengganti puasanya, yang berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam mazhabnya. Dengan pernyataannya:

إن من أكل أو شرب ناسيا فلا قضاء عليه وإن صومه تام

“Sesungguhnya orang yang makan atau minum karena lupa, maka tidak wajib baginya menggantinya dan sesungguhnya puasanya adalah sempurna
     Bila dicermati dari contoh-contoh penafsiran di atas, di satu sisi meggambarkan betapa al-Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadiakan tafsir ini termasuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa al-Qurtubi yang bermazhab Maliki ternyata tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan pendapat imam mazhabnya.
       Dalam membahas ayat-ayat hukum Al-Qurtubiy banyak sekali menyebut-nyebut masalah khilafiah. Dia mengemukakan dalil tiap-tiap ra-i, dan yang disangkutkan kepadanya itu tidak fanatik kepada mazhab Malikiy.[7]
5. Langkah-langkah penafsiran
Langkah-langkah yang dilakukan oleh al-Qurtubi dalam menafsirkan al-Quran dapat dijelaskan dengan perincian sebagai berikut:
      Memberikan kupasan dari segi bahasa. Menyebutkan ayat-ayta lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan menyebut sumbernya sebagai dalil. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan. Menolak pendapat yang dianggap tidak ssesuai dengan ajaran Islam. Mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi msing-masing, setelah itu melakukan tarjih dengan mengambil pendapat yang dianggap paling benar.
     Langkah-langkah yang ditempuh al-Qurtubi ini masih meungkin diperluas lagi dengan melakuakan penelitian yang lebih seksama. Satu hal yang sangat menonjol adalah adanya penjelasan panjang lebar mengenai persoalan fiqhiyah merupakan hal yang sangat mudah ditemui dalam tafsir ini.
6. Karakteristik Penafsiran al-Qurtubi
Persoalan menarik yang terdapat dalam tafsir ini dan perlu untuk dicermati adalah pernyataan yang dikemukakan oleh al-Qurtubi dalam muqaddimah tafsirannya yang berbunyi:

وشرطي في هذا الكتاب : إضافة الأقوال إلى قائليها والأحاديث إلى مصنفيها فإنه يقال من بركة العلم أن يضاف القول إلى قائله
(Syarat saya dalam kitab ini adalah menyandarkan semua perkataan kepada orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadits kepada pengarangnya, karena dikataan bahwa diantara berkah ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada orang yang mengatakannya).
6. Kelebihan dan kekurangan kitab tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an”
      Imam Adz-Dzahabi pernah berkata, "Al Qurthubi telah mengarang sebuah kitab tafsir yang sangat spektakuler, namun memiliki kelebihan dan kekurangan di dalam kitab tafsirnya". Diantara kelebihanya. Menghimpun ayat, hadits dan aqwal ulama pada masalah-masalah hukum. Kemudian beliau mentarjih salah satu di antara aqwal tersebut. Sarat dengan dalil-dalil 'aqli dan naqli Tidak mengabaikan bahasa Arab, sya'ir Arab dan sastra Arab.
Diantara kekurangannya: Banyak mencantumkan hadits-hadits dha'if tanpa diberi komentar (catatan), padahal beliau adalah seorang muhaddits (ahli hadits). Penulis menta'wil beberapa ayat yang berbicara tentang sifat Allah SWT.







BAB III

A. Kesimpulan
      Dari persoalan-pesoalan yang telah diuraikan dalam beberapa bab di atas dapat dicatat bahwa, pertama Al-Qurtubi pengarang kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an adalah seorang mufasir yang bermazhab Maliki yang hidup di Andalus. Kedua, tafsir yang ditulisnya tersebut menggunakan sistematika Mushafi, metode Tahlili, berbentuk tafsir ra’y dan bercorak fiqhi mazhab Maliki dengan tidak terlalu terkait dengan mazhabnya. Ketiga, adanya sejumlah keberatan terhadap model penafsiran yang dilakukan oleh ahli hukum, karena terlalu bersifat atomistis dan harfiah sehingga sering mengaburkan program besar al-Quran sebagai petunjuk dan pengatur seluruh aspek kehidupan.
      Dan perbedaan yang mencolok antara kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an dengan kitab tafsir ahkam al-Qur'an sebelumnya adalah kitab tafsir ini lebih istimewa karena tidak terbatas menafsirkan ayat-ayat hukum dan persoalan fiqhi saja, tetapi lebih dari itu tafsir ini mencakup semua aspek tafsir dan ayat-ayat yang tidak berkenaan dengan hukum juga ditafsirkan oleh Qurthubi. Dan juga al-Qurthubi di dalam penafsirannya tidak ta'assub dengan mazhab Maliki.

B. Penutup
     Demikianlah pembahasan mengenai Tafsir al-Qurtubi ini kami susun, kami menyadari banyaknya kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, kritik maupun saran yang membangun sangat kami harapkan guna kesempurnaan pembahasan ini. Atas segenap perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.






Jasa Rental Perlengkapan Event Seminar, Workshop, Launching, Wisuda, Partisi Pameran



Daftar Pustaka
Adz-Dzahabi. Muhammad Husein. 1961. At-Tafsir wa Al-Mufassirun. Juz I. Kairo: Dar al-Kutub.
Al-Qatthan. Manna Khalil. 1994. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Citra Antar Nusa.

Al-Qurthubi. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari. 1995. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikri.
Baidan, Nashrudin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: pustaka Pelajar.
Quthan, Mana’ul. 1995. Pembahasan ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta: Rineka Cipta.




[1] Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikri, 1995), hal. 3.
[2] Ibid., hal 93-131.
[3] Al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Kutub, 1961),  hal. 437. Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, (Jakarta: Citra Antar Nusa, 1994), hal. 514.
[4]Al-Zahabi, op.cit, hal. 125.
[5]Nashrudin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, (yogyakarta: pustaka pelajar, 2005), Hal. 417-419.
[6] Al-Qurtubi, op.cit, hal. 353.
[7] Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), cet pertama, hal. 222.

0 comments: